Dari catatan sejarah yang kita ketahui bahwa raja-raja atau
sultan-sultan Palembang berasal dan memiliki hubungan darah dengan
raja-raja Jawa, oleh karena itu sistem pemerintahan yang mereka anut
adalah sistem pemerintahan yang terdapat dari mana mereka berasal.
Wilayah basis daerah Kesultanan Palembang adalah sekitar kota Palembang
ditambah dengan daerah-daerah yang langsung dibawah pemerintahan sultan
yaitu daerah Belida, sekarang sekitar Muara Enim serta daerah Pegagan,
sekarang masyarakat di sekitar Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir yang
merupakan daerah sikap yang bebas pajak. Raja juga sering mudik ke
hulu-hulu sungai daerah sampai masuk jauh ke pedalaman dengan
“ritualisme” pergi pesiar, berburu dan menangkap ikan. Pada saat-saat
itu dilakukan perundingandengan kepala marga untuk mencapai sebuah kata
pemukatan dan kesepakatan dalam mengadakan “persahabatan”, yang
diselimuti embel-embel, di mana daerah tersebut bebas memperdagangkan
hasil bumi ke Palembang. Pada daerah-daerah uluan ini, sebagai
imbalannya mereka diwajibkan membayar pajak dan sewaktu-waktu diperlukan
diminta pula untuk menyiapkan tenaga kerja. Daerah-daerah tersebut
dinamakan “kepungutan” yang meliputi wilayah Musi Ilir dan sekitarnya.
Untuk menjamin kelancaran pungutan-pungutan pajak maka di setiap aliran
sungai ditempatkan seorang “jenang” yang mengkoordinir marga-marga dalam
aliran sungai.
Kadang kala sering terjadi perselisihan antara satu marga dengan yang lainnya, dipicuh persoalan batas-batas marga, dalam mengatasi perselisihan ini, maka tangan raja atau sultan sering diminta untuk ikut menjadi penengah. Pada masa pemerintahan Ratu Sinuhun yang memerintah dari tahun 1630 sampai dengan 1642 Masehi, sebagai puncaknya kemudian dilembagakan suatu aturan yang dapat mengikat dan mendorong orientasi para kepala marga dalam suatu kesatuan dengan membuat aturan-aturan adat pertama di daerah uluan. Tahun 1854, aturan-aturan adat tadi dijadikan buku yang disebut “Kitab Undang-undang Simbur Cahaya” (Pada dasarnya Undang-undang Simbur Cahaya yang ditulis dalam huruf Arab Melayu dicetak pada tahun 1865 terdiri dari 5 bab dan 178 Pasal merupakan adopsi dari tata tertib yang semula merupakan aturan kebiasaaan penduduk marga di daerah Uluan Palembang, di mana dalam aturan ini kekuasaan tertinggi berada pada tangan Sultan Palembang, sehingga secara tidak langsung aturan ini mengakui kekuasaan kesultanan.) Namun, semenjak Sultan Mahmud Badaruddin II dikalahkan dan ditawan Belanda pada tanggal 6 Juli 1821 untuk diasingkan ke Ternate pada bulan Maret 1822, kesultanan harus berada di bawah kendali Pemerintahan Belanda. Kemudian ketika tahun 1824, Kesultanan Palembang dengan sultan terakhirnya Sultan Ahmad Najamuddin III dihapuskan, maka Pemerintah Kolonial Belanda mulai berusaha mengontrol dan mengendalikan pemerintahan marga di semua wailayah Sumatera Selatan sekarang ini. Belanda menggantikan para “jenang” dengan seorang kontroleur dengan mengeluarkan Staadblad No. 109 tahun 1827. Namun pada tingkatan bawahnya, Belanda tetap membiarkan marga dikepalai oleh kepala-kepalanya sendiri, para depati atau pesirah Residen Palembang yang menggantikan kedudukan sultan Palembang di daerah iliran, Palembang, untuk mempertegas aturan-aturan dalam Undang-undang Simbur Cahaya, kemudian mengeluarkan Circulaire No. 326 tanggal 27 Juli 1873. Dalam aturan ini ditetapkan nama-nama jabatan dalam marga dan tata cara pemilihan serta syarat-syaratnya. Nama jabatan “pasirah” sebagai kepala marga, “pembarab” bagi kepala dusun di mana pasirah berdomisili sekaligus pemegang jabatan wakil pasirah jika berhalangan, sedangkan kepala dusun disebut “kerio”. Kemudian syarat-syarat jabatan pamong marga adalah laki-laki yang sudah berkeluarga, pandai baca tulis minimal tulisan “rencong” atau huruf ulu.
Kadang kala sering terjadi perselisihan antara satu marga dengan yang lainnya, dipicuh persoalan batas-batas marga, dalam mengatasi perselisihan ini, maka tangan raja atau sultan sering diminta untuk ikut menjadi penengah. Pada masa pemerintahan Ratu Sinuhun yang memerintah dari tahun 1630 sampai dengan 1642 Masehi, sebagai puncaknya kemudian dilembagakan suatu aturan yang dapat mengikat dan mendorong orientasi para kepala marga dalam suatu kesatuan dengan membuat aturan-aturan adat pertama di daerah uluan. Tahun 1854, aturan-aturan adat tadi dijadikan buku yang disebut “Kitab Undang-undang Simbur Cahaya” (Pada dasarnya Undang-undang Simbur Cahaya yang ditulis dalam huruf Arab Melayu dicetak pada tahun 1865 terdiri dari 5 bab dan 178 Pasal merupakan adopsi dari tata tertib yang semula merupakan aturan kebiasaaan penduduk marga di daerah Uluan Palembang, di mana dalam aturan ini kekuasaan tertinggi berada pada tangan Sultan Palembang, sehingga secara tidak langsung aturan ini mengakui kekuasaan kesultanan.) Namun, semenjak Sultan Mahmud Badaruddin II dikalahkan dan ditawan Belanda pada tanggal 6 Juli 1821 untuk diasingkan ke Ternate pada bulan Maret 1822, kesultanan harus berada di bawah kendali Pemerintahan Belanda. Kemudian ketika tahun 1824, Kesultanan Palembang dengan sultan terakhirnya Sultan Ahmad Najamuddin III dihapuskan, maka Pemerintah Kolonial Belanda mulai berusaha mengontrol dan mengendalikan pemerintahan marga di semua wailayah Sumatera Selatan sekarang ini. Belanda menggantikan para “jenang” dengan seorang kontroleur dengan mengeluarkan Staadblad No. 109 tahun 1827. Namun pada tingkatan bawahnya, Belanda tetap membiarkan marga dikepalai oleh kepala-kepalanya sendiri, para depati atau pesirah Residen Palembang yang menggantikan kedudukan sultan Palembang di daerah iliran, Palembang, untuk mempertegas aturan-aturan dalam Undang-undang Simbur Cahaya, kemudian mengeluarkan Circulaire No. 326 tanggal 27 Juli 1873. Dalam aturan ini ditetapkan nama-nama jabatan dalam marga dan tata cara pemilihan serta syarat-syaratnya. Nama jabatan “pasirah” sebagai kepala marga, “pembarab” bagi kepala dusun di mana pasirah berdomisili sekaligus pemegang jabatan wakil pasirah jika berhalangan, sedangkan kepala dusun disebut “kerio”. Kemudian syarat-syarat jabatan pamong marga adalah laki-laki yang sudah berkeluarga, pandai baca tulis minimal tulisan “rencong” atau huruf ulu.
Melalui Regeeling van de Imheemsche
Rechtspraak Buitengewesten (aturan pengadilan asli di daerah seberang)
tahun 1923 jo Besluit Residen Palembang tanggal 23 Oktober 1933, maka
diadakan aturan untuk pengadilan dalam daerah uluan Keresidenan
Palembang ke dalam tiga tingkatan, yaitu :
1. Rapat, pengadilan marga dipimpin pasirah
2. Rapat kecil dan
3. Rapat besar dipimpin oleh kepala onderafdeeling atau orang yang ditunjuk residen, di mana kepala marga yang bersangkutan menjadi anggota.
Pada tahun 1848 Belanda mulai menempatkan ambstenarambstenar di pedalaman, Belanda mempersamakan kedudukan kesatuan-kesatuan masyarakat sebagai kesatuan teritorial dengan mengambil pola kesatuan marga yang dibentuk pemerintahan Kesultanan Palembang dalam daerah kepungutan yang dikuasai langsung pemerintahan kesultanan. Pada pengaturan awal di daerah marga dalam memudahkan mengontrol daerah-daerah kekuasaannya, Belanda melakukan tindakan-tindakan, yaitu:
Pertama, mempersamakan hak-hak warga marga, apakah ia merupakan “mata gawe”, kepala keluarga ataukah “alingan”, anggota keluarga; Kedua, menghapuskan larangan orang luar dari marga menetap dalam marga; Ketiga, larangan bagi warga marga pindah tempat bermukim antar marga; Keempat, menetapkan pemilihan kepala-kepala marga yang disebut secara umum sebagai depati atau pasirah dan kepala dusun-dusun yang disebut kerio atau proatin berdasarkan teritorial bukan berdasarkan geneologis. Terakhir, Belanda melakukan penyempurnaan administrasi marga. Mengenai pokok-pokok peraturan tentang otonomi kesatuan-kesatuan masyarakat asli di Keresidenan Palembang sebagai peraturan pelaksanaan dikeluarkan kebijakan dalam Staatblad No. 814 tahun 1919 (13 Pada tahun 1919 Pemerintah Belanda menetapkan sebagai kesatuan pemerintahan adat yang terendah adalah marga bukan dusun. Van Volenhoven mengatakan bahwa marga sebagai pemerintahan dalam arti luas mencakup catur praja yaitu perundangan pelaksanaan peradilan dan kepolisian.) dan terakhir diatur dengan Inlandse Gemeente Ordonantie Buitingewesten yang terdapat dalam Staadblad No. 490 tahun 1938 dan Staadblad Np. 681 tahun 1938 berlaku sejak tanggal 1 Januari 1939. Marga di Palembang merupakan kesatuan pemerintahan yang terendah berdasarkan hukum adat:
Pertama, marga adalah masyarakat hukum adat berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintah terdepan dalam rangka pemerintah Hindia Belanda dan merupakan badan hukum di Hindia Belanda. Kedua, marga berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat. Ketiga, susunan pemerintah marga yang terdiri atas kepala marga, dan kepala-kepala adat yang duduk dilembaga dewan marga lainnya, biasanya bentuk dan susunan pemerintahan ditentukan menurut hukum adat. Ketiga, pemerintahan marga didampingi dewan marga yang membuat peraturan-peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat.
Peraturan-peraturan marga harus disahkan oleh instansi atasan sebelum berlaku dan diumumkan. Marga membuat peraturan sendiri dan melaksanakan sendiri peraturannya. Peraturan ini dijalankan di bawah pengawasan instansi atasan, yakni kepala onderafdeeling yang dijabat orang Belanda disebut controleur yang dibantu oleh ambtenar-ambtenar yang dijabat orang bumi putera yaitu demang yang membawahi dua atau tiga orang asisten demang.
Pada tingkatan yang lebih tinggi, dua atau lebih wilayah onderafdeeling dijabat seorang asisten residen sebagai kepala afdeeling yang membawahi dan mengawasi para controleur atas nama residen sebagai kepala keresidenan. Marga sebagai suatu kesatuan pemerintahan baik di zaman Kesultanan Palembang, penjajahan Belanda, maupun Pendudukan Jepang, merupakan garda terdepan pemerintahan yang langsung berurusan dengan rakyat berdasarkan hukum adat.
Di samping depati dan pasirah sebagai kepala marga, setiap marga juga mempunyai sekretaris yang disebut juru tulis. Di bidang agama disebut penghulu sedangkan di setiap dusun dipimpin oleh kerio dan dengan kepala urusan keagamaannya khatib. Khatib dibantu kaum yang terdiri dari modim, lebai, bilal dan marbot. Khatib bertugas dan mencatat bilamana ada orang nikah, cerai, dan rujuk, di samping juga kematian dan kelahiran. Khatib melapor pada penghulu, penghulu melapor pada pasirah sebagai kepala marga, sedangkan kaum memelihara atau mengurus masjid, langgar, padasan (tempat wudhu).
1. Rapat, pengadilan marga dipimpin pasirah
2. Rapat kecil dan
3. Rapat besar dipimpin oleh kepala onderafdeeling atau orang yang ditunjuk residen, di mana kepala marga yang bersangkutan menjadi anggota.
Pada tahun 1848 Belanda mulai menempatkan ambstenarambstenar di pedalaman, Belanda mempersamakan kedudukan kesatuan-kesatuan masyarakat sebagai kesatuan teritorial dengan mengambil pola kesatuan marga yang dibentuk pemerintahan Kesultanan Palembang dalam daerah kepungutan yang dikuasai langsung pemerintahan kesultanan. Pada pengaturan awal di daerah marga dalam memudahkan mengontrol daerah-daerah kekuasaannya, Belanda melakukan tindakan-tindakan, yaitu:
Pertama, mempersamakan hak-hak warga marga, apakah ia merupakan “mata gawe”, kepala keluarga ataukah “alingan”, anggota keluarga; Kedua, menghapuskan larangan orang luar dari marga menetap dalam marga; Ketiga, larangan bagi warga marga pindah tempat bermukim antar marga; Keempat, menetapkan pemilihan kepala-kepala marga yang disebut secara umum sebagai depati atau pasirah dan kepala dusun-dusun yang disebut kerio atau proatin berdasarkan teritorial bukan berdasarkan geneologis. Terakhir, Belanda melakukan penyempurnaan administrasi marga. Mengenai pokok-pokok peraturan tentang otonomi kesatuan-kesatuan masyarakat asli di Keresidenan Palembang sebagai peraturan pelaksanaan dikeluarkan kebijakan dalam Staatblad No. 814 tahun 1919 (13 Pada tahun 1919 Pemerintah Belanda menetapkan sebagai kesatuan pemerintahan adat yang terendah adalah marga bukan dusun. Van Volenhoven mengatakan bahwa marga sebagai pemerintahan dalam arti luas mencakup catur praja yaitu perundangan pelaksanaan peradilan dan kepolisian.) dan terakhir diatur dengan Inlandse Gemeente Ordonantie Buitingewesten yang terdapat dalam Staadblad No. 490 tahun 1938 dan Staadblad Np. 681 tahun 1938 berlaku sejak tanggal 1 Januari 1939. Marga di Palembang merupakan kesatuan pemerintahan yang terendah berdasarkan hukum adat:
Pertama, marga adalah masyarakat hukum adat berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintah terdepan dalam rangka pemerintah Hindia Belanda dan merupakan badan hukum di Hindia Belanda. Kedua, marga berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat. Ketiga, susunan pemerintah marga yang terdiri atas kepala marga, dan kepala-kepala adat yang duduk dilembaga dewan marga lainnya, biasanya bentuk dan susunan pemerintahan ditentukan menurut hukum adat. Ketiga, pemerintahan marga didampingi dewan marga yang membuat peraturan-peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat.
Peraturan-peraturan marga harus disahkan oleh instansi atasan sebelum berlaku dan diumumkan. Marga membuat peraturan sendiri dan melaksanakan sendiri peraturannya. Peraturan ini dijalankan di bawah pengawasan instansi atasan, yakni kepala onderafdeeling yang dijabat orang Belanda disebut controleur yang dibantu oleh ambtenar-ambtenar yang dijabat orang bumi putera yaitu demang yang membawahi dua atau tiga orang asisten demang.
Pada tingkatan yang lebih tinggi, dua atau lebih wilayah onderafdeeling dijabat seorang asisten residen sebagai kepala afdeeling yang membawahi dan mengawasi para controleur atas nama residen sebagai kepala keresidenan. Marga sebagai suatu kesatuan pemerintahan baik di zaman Kesultanan Palembang, penjajahan Belanda, maupun Pendudukan Jepang, merupakan garda terdepan pemerintahan yang langsung berurusan dengan rakyat berdasarkan hukum adat.
Di samping depati dan pasirah sebagai kepala marga, setiap marga juga mempunyai sekretaris yang disebut juru tulis. Di bidang agama disebut penghulu sedangkan di setiap dusun dipimpin oleh kerio dan dengan kepala urusan keagamaannya khatib. Khatib dibantu kaum yang terdiri dari modim, lebai, bilal dan marbot. Khatib bertugas dan mencatat bilamana ada orang nikah, cerai, dan rujuk, di samping juga kematian dan kelahiran. Khatib melapor pada penghulu, penghulu melapor pada pasirah sebagai kepala marga, sedangkan kaum memelihara atau mengurus masjid, langgar, padasan (tempat wudhu).
Sumber: Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural
Palembang ©Dedi Irwanto M. Santun, Murni, Supriyanto ,,Hlm. 15-19
Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Eja Publisher, Yogyakarta, Oktober, 2010
Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Eja Publisher, Yogyakarta, Oktober, 2010
Foto: Keluarga besar Pasirah Marga Muara Beliti Pasemah tahun 1920 an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar