Masuknya Agama Islam ke Sumatera Bagian Selatan
Sumber-sumber sejarah masa lalu, khususnya pada masa sebelum masehi,
seringkali bukan hanya merupakan sumber tertulis, melainkan juga
sumber-sumber lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu
dari sumber-sumber lisan itu antara lain berkenaan dengan uraian
mengenai nama-nama tempat yang asalnya dianggap berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa tertentu.
Sehubungan dengan proses masuknya agama Islam ke Sumatera Selatan, sumber-sumber lisan maupun tulisan yang dikaitkan dengan asal mula peristiwa atau nama tempat juga diperoleh. Tulisan ini bermaksud untuk mengungkapkan beberapa diantaranya.
Menurut sumber-sumber yang dapat diperoleh mengenai sejarah Sumatera bagian Selatan sebelum abad Masehi, dinyatakan bahwa sejak masa sekitar 300 tahun sebelum Masehi, terdapat tiga buah kerajaan yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda.
Pertama, Kerajaan Dempo dengan rajanya yang bergelar Raja Dempu Awang, terletak di daerah Pagaralam sekarang ini (di daerah Gunung Dempo). Kerajaan ini menguasai wilayah Sumatera Selatan bagian Barat.
Kedua, Kerajaan Ipuh dengan rajanya yang bergelar Ranggo Laut (Penjaga Laut), terletak di Bukit Batu Tulung Selapan sekarang ini, yang kini termasuk dalam Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Gunung Manumbing di Pulau Bangka. Melihat letak daerah itu, tampak bahwa kerajaan ini menguasai bagian Timur Sumatera bagian Selatan, termasuk Pulau Bangka.
Ketiga, Kerajaan Danau dengan rajanya yang bergelar Pedamaran Tuan Tigo Tanah Danau. Kerajaan ini terletak di sebelah Selatan Sumatera bagian Selatan, yang kini merupakan daerah Lebak atau danau yang bernama Pedamaran. Tempat ini di masa lalu disebut pula sebagai Pedamaran. Marga Danau. Sebenarnya kerajaan Danau ini tidak dapat disebut kerajaan karena merupakan wilayah tempat orang bercocok tanam di ladang yang juga dikenal dengan nama Umbul Parataran. Penduduk terkonsentrasi di wilayah tersebut. Menurut cerita di masa selanjutnya salah seorang pemimpin mereka mempunyai tiga orang putri yang sangat cantik dan terkenal dengan nama Putri Danau atau Putri Air.
Pada abad ke-6 M, ketiga wilayah ini dikatakan tergabung menjadi satu wilayah karena adanya perkawinan antara raja Dempo, yaitu bergelar Rana Dempu atau Dempu Awang dan raja Ipuh, yaitu bergelar Ronggo Laut, dengan putri-putri kerajaan Danau tersebut di atas. Dengan bersatunya ketiga kerajaan itu, menurut cerita, terbentuklah sebuah kerajaan baru yang disebut kerajaan Danau dan raja yang dipilih untuk memimpinnya adalah Ranggo Laut, yang bergelar Syailendra. Istilah ini berasal dari kata ‘’Sailandarah”, yang pada masa Pedamaran dijelaskan sebagai “ganti tunggu rumah, jalan diam”. Keluarga Syailendra inilah disebut oleh sumber-sumber kerajaan Sriwijaya sebagai keluarga yang juga menguasai Pulau Jawa dan mendirikan Candi Borobudur dan candi-andi lainnya di Jawa.
Raja-raja dari keluarga Syailendra, yang dikenal sebagai para penguasa kerajaan Sriwijaya pada abad ke-6 sampai ke-9 M, menurut sumber-sumber tertentu bukanlah dari kerajaan Sriwijaya melainkan dari kerajaan Seribu Daya, yang penduduknya maenganut agama Budha.
Pada masa selanjutnya, menurut cerita, setelah bekas kerajaan tersebut menganut agama Islam yang masuk ke Sumatera bagian Selatan dan menjadi suatu kerajaan yang diperintah oleh seorang ratu yang bernama Ratu Patih yang bergelar Ratu Sinuhun Ning Sakti. Makamnya berada di salah satu Ilir di Palembang Lama, di Kota Palembang sekarang ini.
Sehubungan dengan proses masuknya agama Islam ke Sumatera Selatan, sumber-sumber lisan maupun tulisan yang dikaitkan dengan asal mula peristiwa atau nama tempat juga diperoleh. Tulisan ini bermaksud untuk mengungkapkan beberapa diantaranya.
Menurut sumber-sumber yang dapat diperoleh mengenai sejarah Sumatera bagian Selatan sebelum abad Masehi, dinyatakan bahwa sejak masa sekitar 300 tahun sebelum Masehi, terdapat tiga buah kerajaan yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda.
Pertama, Kerajaan Dempo dengan rajanya yang bergelar Raja Dempu Awang, terletak di daerah Pagaralam sekarang ini (di daerah Gunung Dempo). Kerajaan ini menguasai wilayah Sumatera Selatan bagian Barat.
Kedua, Kerajaan Ipuh dengan rajanya yang bergelar Ranggo Laut (Penjaga Laut), terletak di Bukit Batu Tulung Selapan sekarang ini, yang kini termasuk dalam Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Gunung Manumbing di Pulau Bangka. Melihat letak daerah itu, tampak bahwa kerajaan ini menguasai bagian Timur Sumatera bagian Selatan, termasuk Pulau Bangka.
Ketiga, Kerajaan Danau dengan rajanya yang bergelar Pedamaran Tuan Tigo Tanah Danau. Kerajaan ini terletak di sebelah Selatan Sumatera bagian Selatan, yang kini merupakan daerah Lebak atau danau yang bernama Pedamaran. Tempat ini di masa lalu disebut pula sebagai Pedamaran. Marga Danau. Sebenarnya kerajaan Danau ini tidak dapat disebut kerajaan karena merupakan wilayah tempat orang bercocok tanam di ladang yang juga dikenal dengan nama Umbul Parataran. Penduduk terkonsentrasi di wilayah tersebut. Menurut cerita di masa selanjutnya salah seorang pemimpin mereka mempunyai tiga orang putri yang sangat cantik dan terkenal dengan nama Putri Danau atau Putri Air.
Pada abad ke-6 M, ketiga wilayah ini dikatakan tergabung menjadi satu wilayah karena adanya perkawinan antara raja Dempo, yaitu bergelar Rana Dempu atau Dempu Awang dan raja Ipuh, yaitu bergelar Ronggo Laut, dengan putri-putri kerajaan Danau tersebut di atas. Dengan bersatunya ketiga kerajaan itu, menurut cerita, terbentuklah sebuah kerajaan baru yang disebut kerajaan Danau dan raja yang dipilih untuk memimpinnya adalah Ranggo Laut, yang bergelar Syailendra. Istilah ini berasal dari kata ‘’Sailandarah”, yang pada masa Pedamaran dijelaskan sebagai “ganti tunggu rumah, jalan diam”. Keluarga Syailendra inilah disebut oleh sumber-sumber kerajaan Sriwijaya sebagai keluarga yang juga menguasai Pulau Jawa dan mendirikan Candi Borobudur dan candi-andi lainnya di Jawa.
Raja-raja dari keluarga Syailendra, yang dikenal sebagai para penguasa kerajaan Sriwijaya pada abad ke-6 sampai ke-9 M, menurut sumber-sumber tertentu bukanlah dari kerajaan Sriwijaya melainkan dari kerajaan Seribu Daya, yang penduduknya maenganut agama Budha.
Pada masa selanjutnya, menurut cerita, setelah bekas kerajaan tersebut menganut agama Islam yang masuk ke Sumatera bagian Selatan dan menjadi suatu kerajaan yang diperintah oleh seorang ratu yang bernama Ratu Patih yang bergelar Ratu Sinuhun Ning Sakti. Makamnya berada di salah satu Ilir di Palembang Lama, di Kota Palembang sekarang ini.
Kedatangan dan Penyebaran Agama Islam ke Sumatera Selatan
Sumber-sumber menyatakan bahwa pada abad ke-12 M, yaitu pada tahun
1180 M, suatu kesatuan armada yang terdiri dari empat buah kapal
bertolak dari pulau Jawa atas perintah Wali Songo (Wali Sembilan). Dua
buah kapal berasal dari Demak, dengan nahkoda yang bernama Raden
Kuningan dan nahkoda Suroh Pati. Dua kapal lainnya berasal dari Cirebon,
dengan nahkoda yang bernama Sidik Karto Jati yang berasal dari Gunung
Jati di Cirebon dan dari Banten dengan Nahkoda yang bernama Empu Ing
Sakti Barokatan. Kapal-kapal mereka disebut pula dengan istilah Rejung.
Keempat armada tersebut bertolak ke Sumatera Selatan untuk menyiarkan agama Islam di tiga Kerajaan, yaitu kerajaan Dempo, Ipuh dan Danau. Mereka berangkat melalui jalur ke Kuala Lumpur, tidak melalui Selat Malaka. Beberapa waktu setelah berlayar, armada ini tiba di tempat yang sekarang disebut sebagai Bukit Seguntang atau Bukit Siguntang. Pada waktu itu mereka dilanda oleh angin topan yang dahsyat sehingga salah satu kapal, yaitu yang berasal dari Cirebon, karam terpukul gelombang laut.
Dengan tenggelamnya kapal nahkoda Sidik Karto Jati, maka para penumpang kapal dari Cirebon tersebut terpaksa menetap di Bukit Siguntang. Nama itu sendiri dikatakan muncul akibat adanya peristiwa tersebut, demikian pula halnya dengan nama Gunung Meruh atau Maha Meruh. Bukit Siguntang menggambarkan adanya tanah yang muncul dari permukaan air laut (tebuntang), sedangkan Maha Meruh berasal dari kata Meruk, artinya “Berdiam” atau “menetap”. Maka kedua nama ini melukiskan hal yang dialami dan dihadapi para penumpang kapal tersebut, yakni adanya tanah yang sedikit muncul di permukaan laut dan menetapnya orang Cirebon itu di tempat tersebut.
Bencana alam tersebut dalam bahasa Arab disebut sebagai Musibah. Karena itu, sungai yang membelah kota Palembang disebut sungai Musi, untuk memperingati adanya musibah itu. Pemberian nama ini membuat adanya perkiraan bahwa orang-orang Cirebon itulah yang mula-mula mendiami daerah ini yang sebelumnya tak berpenghuni.
Dengan karamnya perahu yang bernahkoda Sidik Karto Jati, maka hanya tiga kapal saja yang dapat melanjutkan misi mereka. Ketiga nahkoda itu lebih dahulu melakukan perundingan, siapa yang akan menuju ke Dempo, siapa yang menuju ke Ipuh dan siapa yang menuju Danau. Dalam musyawarah itu kemudian diputuskan bahwa kapal Demak dengan nahkoda Raden Kuningan berangkat ke Dempo di sebelah Barat, kapal Banten dengan nahkoda Empu Ing Sakti Barokatan menuju ke Ipuh di sebelah Timur, khususnya ke daerah yang sekarang disebut sebagai Bukit Batu atau daerah di sebelah Timur Tulung Selapan Ogan Komering Ilir. Kapal Demak lainnya dengan nahkoda Suroh Pati bertolak menuju ke Selatan, yaitu Danau. Tempat musyawarah mereka itu terletak di daerah Indralaya sekarang, yaitu dusun Sako Tigo dan Sungai Ogan. Kata Sako Tigo yang berarti tiga arah, yaitu Barat, Timur dan Selatan. Sungai Ogan berasal dari kata Bergan, yang berarti “berlabuh sementara” atau “menetap sementara”. Selain itu terdapat nama lain, yaitu dusun Burai dengan marga Burai, yang berasal dari kata “bercerai”. Kata tersebut seringkali diucapkan sebagai Jurai, yaitu keturunan dari seorang awak kapal Demak yang bernama Indrajaya. Nama itu kemudian berubah menjadi dusun Indralaya yang berlokasi di Indrajaya sekarang.
Kapal Demak dengan nahkoda Raden Kuningan ternyata kemudian terpaksa berlabuh karena disebut sebagai Prabumulih sekarang ini, yang dikenal juga dengan nama Gunung Ibul. Sungai mengalir di situ disebut Sungai Kelekar, sedangkan tempat yang disebut dusun Ibul, berasal dari kata “membuang Jangkar”. Di samping itu terdapat suatu lokasi yang bernama dusun Gelumbang, yang berasal dari kata “Gelombang”. Di daerah Gunung Ibul itu terdapat suatu tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat, khususnya masyarakat pedalaman Sumatera Selatan dan disebut Keramat Gunung Ibul.
Adapun arnada Demak yang lainnya, yang bernahkoda Suroh Pati yang bertolak menuju Danau, telah berlabuh di suatu tempat dan penumpangnya mendarat di daerah yang sekarang disebut dusun Meranjat. Nama ini berasal dari kata “mendarat”. Mereka mendirikan perkampungan, kemudian meninggalkan adik Suroh Pati yang bernama Putri Pati. Adanya penumpang wanita dalam kapal nahkoda Suroh Pati ini memang disebutkan oleh sumber-sumber yang menyatakan bahwa para Wali Sembilan yang datang ke Palembang terdiri dari 8 orang laki-laki dan seorang wanita,
Tempat berlabuh kapal nahkoda Suroh Pati tersebt kini menjadi suatu delta yang terletak di antara dua dusun Meranjat dan Tanjung Batu sekarang. Di sini terletak makam nahkoda Suroh Pati dan makam Puyang Rio Megat Sari atau Usang Rimau. Selain itu terdapat suatu dusun yang bernama dusun Beti, yang berasal dari nama Putri Patih. Akibat terdamparnya kapal mereka, pengikut nahkoda Suroh Pati tidak jadi menyiarkan agama Islam ke Danau, melainkan ke Ulu Ogan dan sekitarnya, dan untuk sementara terhenti di daerah yang bernama Rambang, seorang tokoh yang semula bernama Syarif Abdul Rahman. Lokasinya adalah di antara tepi sungai Ogan dan dusun Rambang. Tokoh ini salah satu seorang penumpang kapal nahkoda Suroh Pati.
Armada yang berasal dari Banten, dengan nahkoda Empu Ing Sakti Barokatan, berlayar ke arah Timur menuju Ipuh; yang lokasinya adalah Bukit Batu Tulung Selapan sekarang. Mereka juga mengalami hambatan dilanda angin kencang sehingga kapal kehilangan arah. Sebagai akibatnya, mereka tidak menuju ke Timur seperti yang direncanakan semula, melainkan ke Selatan. Disana mereka terdampar di suatu tempat yang dahulu bernama Pedamaran dansekarang dikenal sebagai Sekampung atau Pulau Sekampung. Nama ini juga menyatakan bahwa di tempat itulah dahulu para awak dan penumpang kapal mendirikan perkampungan. Di tempat ini terdapat makam yang dikeramatkan, yang disebut Pedamaran Usang atau Puyang Sekampung. Makam tersebut merupakan makam salah seorang tokoh yang turut dalam kapal. Bernama Syarif Husin Hidayatullah, yang kemudian diangkat menjadi kepala pemerintahan setempat di Pulau Sekampung dan disebut Rio, dengan gelar Rio Minak. Di kampung ini ia mengajarkan agama Islam kepada masyarakat di sekitar danau atau lebak, yang sebelum dan pada masa pemerintahan keluarga Syailendra atau kerajaan Seribu Daya menganut agama Budha dan disebut juga sebagai Pedamaran Budi Kerti.
Setelah perkampungan mereka mantap, Syarif Husin Hidayatullah memerintahkan Empu Ing Sakti Barokatan untuk bertolak menuju Jawa melalui daerah yang kini merupakan Lampung. Tujuannya adalah memberitahukan para Wlai Sembilan di Jawa bahwa tiga dari keempat armada mereka tidak sampai di sasaran semula, melainkan ke tempat lain akibat musibah yang dialami.
Dari uraian di atas tampak bahwa semula agama Islam disiarkan oleh orang-orang Jawa atas perintah Wali Sembilan pada abad ke-12 M, yaitu pada tahun 1180 M. Karena selama bertahun-tahun para Wali Sembilan tak mendengar kabar tentang misi keempat armada tersebut, maka Syarif Hidayatullah yang terkenal sebagai Sunan Gunung Jati di Cirebon memberangkatkan suatu armada lain dikepalai oleh Kholik Hamirullah. Tugasnya adalah mencari keterangan tentang keempat armada terdahulu.
Keempat armada tersebut bertolak ke Sumatera Selatan untuk menyiarkan agama Islam di tiga Kerajaan, yaitu kerajaan Dempo, Ipuh dan Danau. Mereka berangkat melalui jalur ke Kuala Lumpur, tidak melalui Selat Malaka. Beberapa waktu setelah berlayar, armada ini tiba di tempat yang sekarang disebut sebagai Bukit Seguntang atau Bukit Siguntang. Pada waktu itu mereka dilanda oleh angin topan yang dahsyat sehingga salah satu kapal, yaitu yang berasal dari Cirebon, karam terpukul gelombang laut.
Dengan tenggelamnya kapal nahkoda Sidik Karto Jati, maka para penumpang kapal dari Cirebon tersebut terpaksa menetap di Bukit Siguntang. Nama itu sendiri dikatakan muncul akibat adanya peristiwa tersebut, demikian pula halnya dengan nama Gunung Meruh atau Maha Meruh. Bukit Siguntang menggambarkan adanya tanah yang muncul dari permukaan air laut (tebuntang), sedangkan Maha Meruh berasal dari kata Meruk, artinya “Berdiam” atau “menetap”. Maka kedua nama ini melukiskan hal yang dialami dan dihadapi para penumpang kapal tersebut, yakni adanya tanah yang sedikit muncul di permukaan laut dan menetapnya orang Cirebon itu di tempat tersebut.
Bencana alam tersebut dalam bahasa Arab disebut sebagai Musibah. Karena itu, sungai yang membelah kota Palembang disebut sungai Musi, untuk memperingati adanya musibah itu. Pemberian nama ini membuat adanya perkiraan bahwa orang-orang Cirebon itulah yang mula-mula mendiami daerah ini yang sebelumnya tak berpenghuni.
Dengan karamnya perahu yang bernahkoda Sidik Karto Jati, maka hanya tiga kapal saja yang dapat melanjutkan misi mereka. Ketiga nahkoda itu lebih dahulu melakukan perundingan, siapa yang akan menuju ke Dempo, siapa yang menuju ke Ipuh dan siapa yang menuju Danau. Dalam musyawarah itu kemudian diputuskan bahwa kapal Demak dengan nahkoda Raden Kuningan berangkat ke Dempo di sebelah Barat, kapal Banten dengan nahkoda Empu Ing Sakti Barokatan menuju ke Ipuh di sebelah Timur, khususnya ke daerah yang sekarang disebut sebagai Bukit Batu atau daerah di sebelah Timur Tulung Selapan Ogan Komering Ilir. Kapal Demak lainnya dengan nahkoda Suroh Pati bertolak menuju ke Selatan, yaitu Danau. Tempat musyawarah mereka itu terletak di daerah Indralaya sekarang, yaitu dusun Sako Tigo dan Sungai Ogan. Kata Sako Tigo yang berarti tiga arah, yaitu Barat, Timur dan Selatan. Sungai Ogan berasal dari kata Bergan, yang berarti “berlabuh sementara” atau “menetap sementara”. Selain itu terdapat nama lain, yaitu dusun Burai dengan marga Burai, yang berasal dari kata “bercerai”. Kata tersebut seringkali diucapkan sebagai Jurai, yaitu keturunan dari seorang awak kapal Demak yang bernama Indrajaya. Nama itu kemudian berubah menjadi dusun Indralaya yang berlokasi di Indrajaya sekarang.
Kapal Demak dengan nahkoda Raden Kuningan ternyata kemudian terpaksa berlabuh karena disebut sebagai Prabumulih sekarang ini, yang dikenal juga dengan nama Gunung Ibul. Sungai mengalir di situ disebut Sungai Kelekar, sedangkan tempat yang disebut dusun Ibul, berasal dari kata “membuang Jangkar”. Di samping itu terdapat suatu lokasi yang bernama dusun Gelumbang, yang berasal dari kata “Gelombang”. Di daerah Gunung Ibul itu terdapat suatu tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat, khususnya masyarakat pedalaman Sumatera Selatan dan disebut Keramat Gunung Ibul.
Adapun arnada Demak yang lainnya, yang bernahkoda Suroh Pati yang bertolak menuju Danau, telah berlabuh di suatu tempat dan penumpangnya mendarat di daerah yang sekarang disebut dusun Meranjat. Nama ini berasal dari kata “mendarat”. Mereka mendirikan perkampungan, kemudian meninggalkan adik Suroh Pati yang bernama Putri Pati. Adanya penumpang wanita dalam kapal nahkoda Suroh Pati ini memang disebutkan oleh sumber-sumber yang menyatakan bahwa para Wali Sembilan yang datang ke Palembang terdiri dari 8 orang laki-laki dan seorang wanita,
Tempat berlabuh kapal nahkoda Suroh Pati tersebt kini menjadi suatu delta yang terletak di antara dua dusun Meranjat dan Tanjung Batu sekarang. Di sini terletak makam nahkoda Suroh Pati dan makam Puyang Rio Megat Sari atau Usang Rimau. Selain itu terdapat suatu dusun yang bernama dusun Beti, yang berasal dari nama Putri Patih. Akibat terdamparnya kapal mereka, pengikut nahkoda Suroh Pati tidak jadi menyiarkan agama Islam ke Danau, melainkan ke Ulu Ogan dan sekitarnya, dan untuk sementara terhenti di daerah yang bernama Rambang, seorang tokoh yang semula bernama Syarif Abdul Rahman. Lokasinya adalah di antara tepi sungai Ogan dan dusun Rambang. Tokoh ini salah satu seorang penumpang kapal nahkoda Suroh Pati.
Armada yang berasal dari Banten, dengan nahkoda Empu Ing Sakti Barokatan, berlayar ke arah Timur menuju Ipuh; yang lokasinya adalah Bukit Batu Tulung Selapan sekarang. Mereka juga mengalami hambatan dilanda angin kencang sehingga kapal kehilangan arah. Sebagai akibatnya, mereka tidak menuju ke Timur seperti yang direncanakan semula, melainkan ke Selatan. Disana mereka terdampar di suatu tempat yang dahulu bernama Pedamaran dansekarang dikenal sebagai Sekampung atau Pulau Sekampung. Nama ini juga menyatakan bahwa di tempat itulah dahulu para awak dan penumpang kapal mendirikan perkampungan. Di tempat ini terdapat makam yang dikeramatkan, yang disebut Pedamaran Usang atau Puyang Sekampung. Makam tersebut merupakan makam salah seorang tokoh yang turut dalam kapal. Bernama Syarif Husin Hidayatullah, yang kemudian diangkat menjadi kepala pemerintahan setempat di Pulau Sekampung dan disebut Rio, dengan gelar Rio Minak. Di kampung ini ia mengajarkan agama Islam kepada masyarakat di sekitar danau atau lebak, yang sebelum dan pada masa pemerintahan keluarga Syailendra atau kerajaan Seribu Daya menganut agama Budha dan disebut juga sebagai Pedamaran Budi Kerti.
Setelah perkampungan mereka mantap, Syarif Husin Hidayatullah memerintahkan Empu Ing Sakti Barokatan untuk bertolak menuju Jawa melalui daerah yang kini merupakan Lampung. Tujuannya adalah memberitahukan para Wlai Sembilan di Jawa bahwa tiga dari keempat armada mereka tidak sampai di sasaran semula, melainkan ke tempat lain akibat musibah yang dialami.
Dari uraian di atas tampak bahwa semula agama Islam disiarkan oleh orang-orang Jawa atas perintah Wali Sembilan pada abad ke-12 M, yaitu pada tahun 1180 M. Karena selama bertahun-tahun para Wali Sembilan tak mendengar kabar tentang misi keempat armada tersebut, maka Syarif Hidayatullah yang terkenal sebagai Sunan Gunung Jati di Cirebon memberangkatkan suatu armada lain dikepalai oleh Kholik Hamirullah. Tugasnya adalah mencari keterangan tentang keempat armada terdahulu.
Kedatangan Armada Kholik Hamirullah ke Sumatera Bagian Selatan
Pada tahun 1221 M, armada Kholik Hamirullah bertolak ke Siguntang,
Meranjat dan Prabumulih, dan akhirnya ke Sekampung Danau Pedamaran. Di
Sekampung beliau dinikahkan dengan anak Rio Minak Usang Sekampung, dan
diangkat sebagai Rio dengan gelar Ario Damar, berkedudukan di tempat
yang bernama Sesa Baru. Nama Rio Damar inilah yang sesungguhnya
menyebabkan terjadinya nama Pedamaran, yang berasal dari kata “Damar”
atau pelita, karena ia menyebarkan dan menyiarkan agama Islam kepada
para penduduk yang semula menyingkir dari Danau karena tidak bersedia
masuk Islam yang diajarkan oleh Syarif Husin Hidayatullah Usang
Sekampung. Dalam penyingkiran itu, mereka mendiami daerah di sekitar
lebak-lebak dan talang-talang di daerah Pedamaran sekarang, seperti
Lebak Teluk Rasau, Lebak Air Hitam dan Lebak Segalauh, juga Tanah Talang
yang kini menjadi Pedamaran. Semula tempat itu bernama Talang Lindung
Bunyian. Ketika itu, penduduk yang bersangkutan menganut kepercayaan
animisme dan sebagian lainnya beragama Budha.
Dalam waktu beberapa tahun ketika Kholik Hamirullah atau Rio Damar berada di daerah yang kini bernama Pedamaran, berhubungan antara para wali di Jawa dengan orang Palembang menjadi lebih lancar. Sekitar 5 tahun sesudahnya, datanglah seorang tokoh yang bernama Maulana Hasanudin, penyiar agam Islam dari Banten ke Sumatera bagian Selatan tersebut. Ia mengunjungi para pengikut keempat nahkoda yang berada di Siguntang, Meranjat, Prabumulih dan Danau Pedamaran, dan akhirnya menikah dengan Putri Patih yang berada di Meranjat, yaitu saudara nahkoda Suroh Pati.
Kedatangan Maulana Hasanuddin ke daerah Palembang ini dikatakan terjadi pada tahun 1227 . beberapa saat setelah berdiam di Meranjat, ia pindah ke Palembang dan kemudian diangkat menjadi Sultan sedangkan istrinya menjadi Ratu. Tak lama sesudah itu, ia pulang ke Banten dan menjadi Sultan Banten.
Dengan kembalinya Sultan Hasanuddin ke Banten, maka pemerintahan dialihkan kepada Putri Patih yang kini bergelar Ratu Sinuhun Ning Sakti. Untuk membantu sang Ratu, Ario Damar didatangkan atau Ario Dillah, yang berasal dari nama Kholik Hamirullah. Suroh Pati diangkat menjadi Panglima perang.
Menurut sumber-sumber yang diperoleh, dalam pemerintahan Ratu Sinuhun Ning Sakti ini, agama Islam berkembang dengan pesatnya, penyebarannya dari Palembang sampai ke Jambi, Bengkulu, Riau daratan hingga Semenanjung Tanah Melayu.
Pada masa pemerintahan Ratu Sinuhun Ning Sakti ini, muncul kisah-kisah yang melukiskan tentang kesaktian sang Ratu yang tidak ada bandingannya. Ia juga dianggap sebagai Ratu yang arif dan bijaksana, mempunyai tiga buah meiam sakti yang konon katanya berada di dasar Sungai Musi. Menurut ilmu mistik, meriam-meriam tersebut terletak di daerah perairan yang sekarang disebut sebagai Muaro Tigo Tanggo Putus, yaitu disebut sebagai Muara Ogan, Laut Tanggo Putus dan Laut Tanggo Buntung. Ketiga meriam itu masing-masing bernamaSegoeng, Dum-dum dan Bujang Palembang. Ketiganya milik Maulana Hasanuddin, Suroh Pati dan Ario Damar (Ario Dillah atau Kholik Hamirullah).
Menurut cerita, Ratu Sinuhun Ning Sakti memerintah selama 8 tahun. Dialah yang dianggap menjadi penguasa sebenarnya, sedangkan suaminya hanyalah menjadi Sultan pendamping. Makam sang Ratu disebut sebagai Sabo Kingking yang terletak di Kota Palembang yang terletak di kota Palembang Lama sekarang. Di samping itu ada pula nama Sabo Kingking yang terletak di Banten, yaitu tempat Maulana Hasanuddin dimakamkan.
Uraian di atas didasarkan pada sumber-sumber yang menyebutkan tentang asal mula nama-nama tempat, dalam hal ini dikaitkan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah masuknya Islam di Sumatera Selatan dalam kurun waktu ke-12 dan ke-13 M. Dari uraian tersebut tampak bahwa seringkali sumber-sumber tersebut tidak menunjukkan adanya akurasi dalam waktu. Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dilukiskan dengan melibatkan tokoh-tokoh yang sama, namun dalam kurun waktu yang cukup lama. Sebagai contoh, penjelasan tentang kedatangan nahkoda Suroh Pati dan Putri Patih sampai pada pengangkatan Putri Patih sampai pada pengangkatan Putri tersebut menjadi Ratu meliputi kurun wkatu antara 1180-1227 M. Dengan demikian kebenarannya perlu diteliti lebih lanjut. Oleh karena itulah maka kiranya para ahli sejarah perlu mengkajin kembali kebenaran sebagian data yang diuraikan dalam tulisan ini, sehingga data yang lebih akurat, khususnya yang berkenaan dengan tokoh dan waktu, dapat diperoleh dan diterima untuk menjelaskan proses masuknya agama Islam di Sumatera Selatan.
Dalam waktu beberapa tahun ketika Kholik Hamirullah atau Rio Damar berada di daerah yang kini bernama Pedamaran, berhubungan antara para wali di Jawa dengan orang Palembang menjadi lebih lancar. Sekitar 5 tahun sesudahnya, datanglah seorang tokoh yang bernama Maulana Hasanudin, penyiar agam Islam dari Banten ke Sumatera bagian Selatan tersebut. Ia mengunjungi para pengikut keempat nahkoda yang berada di Siguntang, Meranjat, Prabumulih dan Danau Pedamaran, dan akhirnya menikah dengan Putri Patih yang berada di Meranjat, yaitu saudara nahkoda Suroh Pati.
Kedatangan Maulana Hasanuddin ke daerah Palembang ini dikatakan terjadi pada tahun 1227 . beberapa saat setelah berdiam di Meranjat, ia pindah ke Palembang dan kemudian diangkat menjadi Sultan sedangkan istrinya menjadi Ratu. Tak lama sesudah itu, ia pulang ke Banten dan menjadi Sultan Banten.
Dengan kembalinya Sultan Hasanuddin ke Banten, maka pemerintahan dialihkan kepada Putri Patih yang kini bergelar Ratu Sinuhun Ning Sakti. Untuk membantu sang Ratu, Ario Damar didatangkan atau Ario Dillah, yang berasal dari nama Kholik Hamirullah. Suroh Pati diangkat menjadi Panglima perang.
Menurut sumber-sumber yang diperoleh, dalam pemerintahan Ratu Sinuhun Ning Sakti ini, agama Islam berkembang dengan pesatnya, penyebarannya dari Palembang sampai ke Jambi, Bengkulu, Riau daratan hingga Semenanjung Tanah Melayu.
Pada masa pemerintahan Ratu Sinuhun Ning Sakti ini, muncul kisah-kisah yang melukiskan tentang kesaktian sang Ratu yang tidak ada bandingannya. Ia juga dianggap sebagai Ratu yang arif dan bijaksana, mempunyai tiga buah meiam sakti yang konon katanya berada di dasar Sungai Musi. Menurut ilmu mistik, meriam-meriam tersebut terletak di daerah perairan yang sekarang disebut sebagai Muaro Tigo Tanggo Putus, yaitu disebut sebagai Muara Ogan, Laut Tanggo Putus dan Laut Tanggo Buntung. Ketiga meriam itu masing-masing bernamaSegoeng, Dum-dum dan Bujang Palembang. Ketiganya milik Maulana Hasanuddin, Suroh Pati dan Ario Damar (Ario Dillah atau Kholik Hamirullah).
Menurut cerita, Ratu Sinuhun Ning Sakti memerintah selama 8 tahun. Dialah yang dianggap menjadi penguasa sebenarnya, sedangkan suaminya hanyalah menjadi Sultan pendamping. Makam sang Ratu disebut sebagai Sabo Kingking yang terletak di Kota Palembang yang terletak di kota Palembang Lama sekarang. Di samping itu ada pula nama Sabo Kingking yang terletak di Banten, yaitu tempat Maulana Hasanuddin dimakamkan.
Uraian di atas didasarkan pada sumber-sumber yang menyebutkan tentang asal mula nama-nama tempat, dalam hal ini dikaitkan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah masuknya Islam di Sumatera Selatan dalam kurun waktu ke-12 dan ke-13 M. Dari uraian tersebut tampak bahwa seringkali sumber-sumber tersebut tidak menunjukkan adanya akurasi dalam waktu. Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dilukiskan dengan melibatkan tokoh-tokoh yang sama, namun dalam kurun waktu yang cukup lama. Sebagai contoh, penjelasan tentang kedatangan nahkoda Suroh Pati dan Putri Patih sampai pada pengangkatan Putri Patih sampai pada pengangkatan Putri tersebut menjadi Ratu meliputi kurun wkatu antara 1180-1227 M. Dengan demikian kebenarannya perlu diteliti lebih lanjut. Oleh karena itulah maka kiranya para ahli sejarah perlu mengkajin kembali kebenaran sebagian data yang diuraikan dalam tulisan ini, sehingga data yang lebih akurat, khususnya yang berkenaan dengan tokoh dan waktu, dapat diperoleh dan diterima untuk menjelaskan proses masuknya agama Islam di Sumatera Selatan.
Sumber; Enan Matalin dalam ‘’ Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di
Sumatera Selatan’’, Pada Tanggal 27 November 1984 di Palembang.
Editor: K.H.O. Gadjahnata & Sri-Edi Swasono
Editor: K.H.O. Gadjahnata & Sri-Edi Swasono
Foto: Masjid Agung tahun 1900
koleksi Nur Ikhsan D.C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar