Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Palembang Darussalam | |||||
|
|||||
Ibu kota | Palembang | ||||
Bahasa | Palembang Sari-Sari, Palembang Alus | ||||
Agama | Islam | ||||
Bentuk Pemerintahan | Monarki | ||||
Sejarah | |||||
- | Didirikan | 1550 | |||
- | Dihapus Belanda | 7 Oktober 1823 1823 |
Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Perancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Tionghoa, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.
Daftar isi
Sejarah
Menurut riwayat, berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam diawali
dengan eksistensi Kerajaan Palembang pada abad ke-15. Berdirinya
Kerajaan Palembang merupakan dampak atas penaklukan Kerajaan Sriwijaya oleh Majapahit pada tahun 1375 Masehi. Selepas penaklukan, ternyata Majapahit tidak dapat mengontrol wilayah Sriwijaya
dengan baik yang berakibat terjadinya dominasi oleh para saudagar dari
Tiongkok di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Palembang itu.
Atas pengaruh dari orang-orang Tiongkok itu, besar kemungkinan bahwa
itulah asal-muasal penamaan “Palembang”. Salah satu faktor penguatnya
adalah seperti yang tercantum dalam karya dua orang penulis asal
Tiongkok, yakni Chau Ju Kua dengan karya berjudul Chufanshi (1225 M) dan
Toa Cih Lio hasil karya Wong Ta Yuan (1345 – 1350 M). Dalam kedua karya
tersebut tercantum kata “Palinfong” untuk menyebut bandar dagang di
wilayah yang sekarang kita kenal dengan nama Palembang (Djohan Hanafiah,
1995:16; www.unitkerja.palembang.go.id).
Lahirnya Kesultanan Palembang Darussalam
Pengaruh kuat orang-orang Tiongkok berakhir ketika Kerajaan Majapahit
mengirimkan utusannya untuk memimpin Palembang. Utusan itu bernama Arya
Damar, putra Prabu Brawijaya V atau Bre Kertabumi (1468 - 1478 M), raja
terakhir Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat (http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya).
Setibanya di Palembang, Arya Damar segera membangun kekuatan untuk
merebut kembali pengaruh yang telah dipegang oleh orang-orang Tiongkok.
Bersama dengan Demang Lebar Daun, putra Sultan Mufti, penguasa di daerah
Pagaruyung, Minangkabau, Arya Damar berhasil mendapatkan kembali pengaruh di wilayah Palembang yang sempat lepas.
Tentang Demang Lebar Daun, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam
Sejarah Melayu (1612), menulis sebagai berikut: “… ada sebuah negeri di
tanah Andalas, Perlembang namanya, Demang Lebar Daun nama rajanya, …”
(Hanafiah, 1995:19). Sebagai catatan, bahwa nama “Perlembang” di dalam
Sejarah Melayu sama artinya dengan nama “Palembang” seperti yang dikenal
sekarang.
Arya Damar yang kemudian memeluk Islam, mengganti namanya menjadi
Arya Abdillah atau Arya Dillah dan menikah dengan anak Demang Lebar Daun
yang bernama Puteri Sandang Biduk. Setelah berhasil menguasai
Palembang, Arya Dillah menobatkan diri sebagai raja yang berkuasa antara
tahun 1445 – 1486 M (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, 2008:8).
Arya Dillah pernah mendapat hadiah seorang selir dari Prabu Brawijaya
V, yaitu perempuan keturunan Tionghoa yang dikenal sebagai Puteri
Champa. Ketika dibawa ke Palembang, Puteri Champa tengah mengandung.
Setelah resmi diperistri oleh Arya Damar, lahirlah bayi yang diberi nama
Raden Patah (Badaruddin, 2008:8). Raden Patah ini nantinya akan menjadi
raja pertama di Kesultanan Demak (1476 – 1568 M) bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama (1478 – 1518 M).
Pada awalnya, Kerajaan Palembang menempati daerah yang bernama Kuto Gawang
sebagai pusat pemerintahan. “Gawang” dalam bahasa Jawa kuno diartikan
sebagai “terang benderang” (L. Mardiwarsito, 1986, dalam Retno Purwanti,
2004:175). Setelah terjadi pergantian beberapa kali penguasa, pada
sekitar tahun 1610 M, Kerajaan Palembang menjalin hubungan dengan VOC
(Vereenigde Oost indische Compagnie). Dalam perkembangan kemudian,
ternyata hubungan antara VOC dengan Kerajaan Palembang menyisipkan
perang besar yang terjadi pada tahun 1659 M.
Dalam perang tersebut VOC membumihanguskan Kuto Gawang. Akibatnya,
Raja Palembang saat itu, Pangeran Seda Ing Rajek, melarikan diri ke
Inderalaya (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ogan Kumering Hilir).
Sepeninggal Pangeran Seda Ing Rajek, tampuk kepemimpinan di Kerajaan
Palembang diserahkan kepada Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesuma (Retno
Purwanti, 2004:20).
Kuto Gawang
Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana.
Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di
tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara
alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh
dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju
dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi.
Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang
bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu
unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di
kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290
Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi
dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan
Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota
berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van
der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu
masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan
Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah.
Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas,
dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak
bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi
dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan
keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton
mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu.
Orang-orang asing ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi
selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah
Seberang Ulu, Plaju).
Beringin Janggut
Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh
Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut
yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data
tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran
keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar Keraton Beringin
Janggut diba¬tasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan
keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di
sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai
Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan
sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan
Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk
yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk,
tidak lagi harus keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat
diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah
berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.
Kuto Tengkuruk
Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektare
dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur
berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal
Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di
sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal
tanah yang luasnya sekitar 50 hektare ini hanya terdapat bangunan Kuto
Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang
atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di
sebelah timur berbatasan dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan
berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat berbatasan dengan Sungai
Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.
Kuto Besak
Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Bahaudin (1776-1803), dibangun
Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk.
Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter,
tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah
barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion.
Bastion yang terletak di sudut baratlaut bentuknya berbeda dengan tiga
bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada
benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu
merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan,
dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut
lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi.
Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua,
tetapi yang masih tersisa hanya sebuah di sisi barat. Perang Palembang
1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823,
bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto
Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah
Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud
Badaruddin II.
Perang antara Kerajaan Palembang – VOC pada tahun 1659 di Kuto Gawang pada tahun 1659.
Hancurnya Kuto Gawang sebagai pertanda berakhirnya eksistensi
Kerajaan Palembang dan berpengaruh terhadap pemindahan pusat
pemerintahan dan pemukiman penduduk ke arah yang lebih ke hulu, yang
terletak antara Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk. Daerah ini kemudian
dikenal dengan nama Beringin Janggut. Setelah kehancuran Kerajaan
Palembang, maka lahirlah Kesultanan Palembang Darussalam.
Pemindahan pusat Kerajaan Palembang Darussalam dari Kuto Gawang ke
Beringin Janggut berpengaruh juga terhadap sistem pemerintahan yang
kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam (Purwanti, 2004:20).
Sebagai pemimpin yang pertama dari kesultanan ini adalah Ki Mas Hindi
Pangeran Arya Kesumo yang kemudian ditabalkan oleh Badan Musyawarah
Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan Abdurrahman
Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 - 1706 M), yang pada masa akhir
hayatnya bergelar Sunan Cinde Walang (Badaruddin, 2008:19).
Di masa pemerintahannya, Ki Mas Hindi atau Sultan Abdurrahman mencoba
menjalin ikatan dengan Kesultanan Mataram Islam (Hanafiah, 1995:193).
Akan tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan. Beberapa kali utusan
dari Palembang ditolak menghadap Sultan Mataram. Penolakan itu membuat
Sultan Abdurrahman berkeputusan untuk memutuskan hubungan dengan Mataram
(Hanafiah, 1995:193-195). Keberanian Sultan Abdurrahman memutuskan
hubungan dengan Kesultanan Mataram Islam karena ia mendapat dukungan
Kesultanan Istanbul dari Dinasti Turki Usmani (Badaruddin, 2008:16).
Jika dilihat dari sejarahnya, terdapat ikatan yang kuat antara
Jawa-Palembang. Seperti diketahui, anak tiri dari Arya Dillah, raja
pertama Kerajaan Palembang, adalah Raden Patah (1478 – 1518 M), pendiri
Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh, sisa-sisa kerajaan ini pindah ke
Jawa bagian timur dan menjadi Kesultanan Pajang (1549 – 1587 M). Kesultanan Pajang pada akhirnya menjadi bagian dari Kesultanan Mataram Islam.
Kesultanan Palembang Darussalam di Era Kolonial
Setelah Sultan Abdurrahman wafat pada tahun 1706 M, tahta kekuasaan
Kesultanan Palembang Darussalam diteruskan oleh putranya yang bergelar
Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 - 1714 M). Nama Jayo Ing
Lago (Jaya di laga) diperoleh karena sebelum menjadi sultan, ia
memenangkan peperangan di Jambi. Pada tahun 1714 M, Sultan Muhammad
Mansyur Jayo Ing Lago meninggal dunia dan dimakamkan di Kebon Gede
(Kelurahan 32 Ilir, Palembang) (Badaruddin, 2008:21).
Sepeninggal Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, terjadi perebutan
tahta di Kesultanan Palembang Darussalam. Konflik bermula dari gugurnya
Pangeran Purbaya yang seharusnya dinobatkan menjadi sultan. Tahta
Kesultanan Palembang Darussalam kemudian dilimpahkan kepada Sultan Agung
Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M), adik dari almarhum Sultan
Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago. Para putra Sultan Muhammad Mansyur Jayo
Ing Lago, yaitu Raden Lembu dan Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin,
menolak keputusan itu dan melakukan perlawanan.
Sultan Agung Komaruddin berinisiatif berdamai dengan kedua
keponakannya itu dengan mengangkat Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin
sebagai Sultan Anom Alimudin dan Pangeran Jayo Wikramo sebagai Pangeran
Ratu Jayo Wikramo. Dengan demikian, Kesultanan Palembang Darussalam
memiliki 3 sultan pada masa yang sama, hanya saja dalam struktur
pemerintahan, kedudukan Sultan Agung Komaruddin tetap paling tinggi.
Solusi tersebut ternyata tidak membuat Pangeran Adipati Mangkubumi
Alimuddin puas, karena ia merasa Pangeran Ratu Jayo Wikramo lebih
diuntungkan dengan mendapatkan istri dari putri Sultan Agung Komaruddin
bernama Ratu Rangda. Hal ini mengakibatkan terjadinya konflik antar
Sultan Anom Alimuddin dan Pangeran Ratu Jayo Wikramo. Pangeran Ratu Jayo
Wikramo menang sehingga mengantarkan dirinya sebagai sultan dengan
gelar Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Badaruddin I
(1724 – 1758 M) dan berhak menggantikan Sultan Agung Komaruddin sebagai
pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam (Badaruddin, 2008:26-27).
Sultan Badaruddin I adalah sosok pemimpin yang berwawasan luas dan
agamis. Sultan pernah menulis kitab berjudul Tahqidul Yakin. Selain itu,
Sultan Badaruddin I juga seorang petualang di mana ia pernah
menyinggahi Makassar, Johor, Kelantan, Kedah, Siam, Timur Tengah, dan
lain sebagainya (Badaruddin, 2008:27).
Sultan Badaruddin I menggagas pentingnya pembaharuan di lingkungan
Kesultanan Palembang Darussalam dengan cara mengintrodusir pengetahuan
dan perkembangan teknologi namun tanpa meninggalkan tradisi lama. Ia
telah melakukan perubahan dan pembangunan ke arah yang lebih maju,
misalnya dengan membangun Gubah Talang Kenanga (1728 M), Gubah Kawah
Tekurep (1728 M), Keraton Kuto Lamo (1737 M), dan Masjid Agung Palembang
(1738 M) (Badaruddin, 2008:27-28).
Masjid Agung Palembang
Sultan Badaruddin I wafat pada tanggal 3 Muharam 1171 H atau 17
September 1757 M dan penerusnya adalah Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 –
1776 M). Pada masa pemerintahannya, Sultan Ahmad Najamuddin I membangun
menara Masjid Agung Palembang pada tahun 1757 M dan membuat kontrak
perdagangan dengan Belanda terutama untuk komoditi lada dan timah, serta
memperbaharui kontrak perdagangan yang telah dibuat pada masa
pemerintahan para sultan sebelumnya. Sultan Ahmad Najamuddin I wafat
pada tanggal 6 Dzulqaidah 1190 H (1776 M) (Badaruddin, 2008:31-32).
Tahta Kesultanan Palembang Darussalam selanjutnya dipegang oleh
Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M) yang membangun Istana Benteng
Kuto Besak. Selain itu, bersama Aceh, Palembang Darussalam menjadi salah
satu pusat sastra agama Islam di nusantara. Sultan Muhammad Bahauddin
wafat pada tanggal 21 Dzulhijjah 1218 H atau 2 April 1804 M (Badaruddin,
2008:33-34).
Benteng Kuto Besak
Penggantinya adalah Raden Muhammad Hasan bergelar Paduka Sultan
Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin
II) (1804 – 1821). Sultan Badaruddin II dikenal sebagai ulama, Imam
Besar Masjid Agung, ahli bela diri, dan penulis. Beberapa karyanya
antara lain: Syair Nuri, Pantun Sipelipur Hati, Sejarah Raja Martalaya,
dan Nasib Seorang Ksatria Signor Kastro (Badaruddin, 2008:35).
Sultan Badaruddin II dikenal sebagai tokoh pejuang melawan Inggris
dan Belanda, seperti pada Peristiwa Loji Sungai Aur (1811-1812), Perang
Palembang (1819-1821). Namun, akhirnya Kesultanan Palembang Darussalam
mengalami kekalahan. Sebagai konsekuensi, pada tanggal 3 Juli 1821,
Sultan Badaruddin II dan putra sulungnya, Sultan Ahmad Najamuddin III
Pangeran Ratu, dibuang ke Ternate, Maluku Utara, hingga Sultan
Badaruddin II wafat di sana pada tanggal 26 November 1852. Atas
perjuangannya melawan penjajah, Sultan Badaruddin II mendapatkan
anugerah sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah RI pada tahun 1984
(Badaruddin, 2008:36).
Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II)
Pada masa pemerintahan Sultan Badaruddin II, dia mengangkat Pangeran
Adimenggala Raden Muhammad Husin bergelar Sultan Ahmad Najamuddin II
Husin Diauddin (1813 – 1821). Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin
merupakan adik dari Sultan Badaruddin II. Selain itu, diangkat pula
putra sulungnya sebagai sultan bergelar Sultan Ahmad Najamuddin III
Pangeran Ratu (1819 - 1821) (Badaruddin, 2008:7, 37, 39).
Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821) adalah adik
dari Sultan Badaruddin II. Secara berselingan, mereka berdua bergantian
dalam memimpin kesultanan. Hal itu terjadi karena Sultan Badaruddin II
pernah hijrah ke Muara Rawas antara tahun 1813 hingga tahun 1818.
Selain itu, pada tahun 1818, Sultan Badaruddin II pernah dipecat oleh
Inggris dan Belanda yang pernah menguasai wilayah Kesultanan Palembang.
Pemecatan ini dijadikan alasan untuk mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin
III Pangeran Ratu pada 1819 (Badaruddin, 2008:39-40).
Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821) adalah putra
sulung dari Sultan Badaruddin II yang dilantik pada tahun 1819. Sehingga
di masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (antara
tahun 1819-1821), terdapat tiga sultan yang memimpin secara bergantian
dalam satu waktu, yaitu Sultan Badaruddin II (1804 – 1821), Sultan Ahmad
Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821), dan Sultan Ahmad Najamuddin
III Pangeran Ratu (1819 - 1821).
Pelantikan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu didasari atas
pemecatan yang dilakukan Belanda dan Inggris terhadap Sultan Badaruddin
II. Meskipun telah dipecat, tetapi secara adat Sultan Badaruddin II
tetap dianggap sebagai pengampu kekuasaan tertinggi di Kesultanan
Palembang Darussalam (Badaruddin, 2008:39-40).
Pada masa peperangan dengan Belanda, Sultan Ahmad Najamuddin III
Pangeran Ratu menjabat sebagai komandan pertahanan Benteng Martapura di
perairan Sungai Musi. Dia bahu membahu dengan sang ayah (Sultan
Badaruddin II) untuk berperang melawan kaum kolonial. Akan tetapi
perlawanan ayah-anak ini harus berakhir, karena pada tanggal 3 Juli
1821, Sultan Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran
Ratu, dibuang ke Ternate, Maluku Utara.
Sebelum diasingkan ke Ternate, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran
Ratu beserta keluarga dan para pengikut setianya, termasuk permaisuri,
sejumlah anaknya, para ulama, dan panglima kesultanan, diasingkan ke
Batavia terlebih dahulu. Tidak semua keluarga dan para pengikut
setianya, termasuk selir dan sebagian anak-anaknya, dibawa ke
pengasingan karena keterbatasan kapal (Badaruddin, 2008:39-40).
Pasca pembuangan Sultan Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin III
Pangeran Ratu, tampuk kepemimpinan diteruskan oleh Sultan Ahmad
Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 – 1821). Pada tahun 1821, Sultan
Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin melantik puteranya yang bergelar
Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823) (Sultan Najamuddin
II). Pada masa kepemimpinan Prabu Anom, Kesultanan Palembang Darussalam
berada di bawah kontrol kekuasaan Belanda dan mulai masuk pula pengaruh
dari Inggris (Badaruddin, 2008:41).
Akibat berbagai tekanan dari pihak Belanda dan Inggris yang
menyudutkan posisi Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Ahmad
Najamuddin IV Prabu Anom sering melakukan perlawanan. Perlawanan tidak
hanya dilakukan di pusat pemerintahan, akan tetapi menyebar sampai ke
daerah-daerah, hingga Belanda menjuluki Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu
Anom dengan gelar Sultan Amuk. Akhirnya perlawanan yang dilakukan oleh
Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom terhenti karena ia ditangkap pada
tahun 1823.
Setahun kemudian, pada tanggal 6 Desember 1824, Sultan Ahmad
Najamudin II Husin Dhiauddin yang merupakan ayah dari Sultan Ahmad
Najamuddin IV Prabu Anom, diasingkan ke Batavia dan wafat di sana pada
tanggal 22 Februari 1825 (Badaruddin, 2008:38). Di sisi lain, Sultan
Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom akhirnya juga diasingkan pada tahun 1825
ke Banda kemudian ke Menado. Pada tahun 1844, Sultan Ahmad Najamuddin IV
Prabu Anom wafat di Manado (Purwanti, 2004:20). Terhitung sejak
tertangkapnya Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom selaku sultan
terakhir di Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1823, maka secara
resmi Kesultanan Palembang Darussalam telah dihapuskan oleh Belanda
(Purwanti, 2004:21).
Upaya Membangkitkan Kesultanan Palembang Darussalam
Kebesaran Kesultanan Palembang Darussalam di masa silam membuat
beberapa pihak berupaya untuk membangkitkannya kembali. Kenangan indah
yang mengendap selama 157 tahun (1666 - 1823), diusahakan dibangun
kembali dengan kemunculan dua tokoh yang merasa sebagai pewaris tahta
Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu Drs. Raden H. Muhammad Sjafei
Prabu Diradja, S.H dan Ir. H. Raden Mahmud Badaruddin.
Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. bin Raden H. Abdul
Hamid Prabudiradja IV adalah seorang perwira polisi yang bertugas di
Kepolisian Daerah Sumatra Selatan. Pada tanggal 3 Maret 2003, bertempat
di Masjid Lawang Kidul, Majelis Musyawarah Adat Kesultanan Palembang
Darussalam menobatkan Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H.
sebagai Sultan di Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan
Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III) (Kemas
Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Ada dua alasan yang mendasari pengangkatan Drs. Raden H. Muhammad
Sjafei Prabu Diradja, S.H. Pertama, berdasarkan wawancara dengan harian
Sumatera Ekspres, pada tanggal 11 Maret 2003, dengan judul “Saya
Menerima Wangsit”, Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H
mengaku menjadi Sultan Mahmud Badaruddin III karena menerima wangsit
(Taufik Wijaya, 2008 dalam www.detiknews.com).
Kedua, menurut silsilah Kesultanan Palembang Darussalam, Drs. Raden
H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. merupakan keturunan ke-11 dari
Sultan Abdurrahman. Sehingga jika dirunut secara garis keturunan, dia
adalah putera dari Raden H. Abdul Hamid Prabu Diratdjah IV, bin R.H.
Sjarif Prabu Diratdjah III, bin R. H. Abdul Habib Prabu Diratdjah II,
bin Pangeran Prabu Diratdjah Haji Abdullah, bin Sultan Mahmud Badaruddin
Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II), bin Sultan
Muhammad Bahauddin, bin Sultan Ahmad Najamuddin I, bin Sultan Mahmud
Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I), bin Sultan Muhammad
Mansyur Jayo Ing Lago, bin Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin
Sayidul Iman (Kemas Ari, 2006, dalam
www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Tokoh kedua yaitu Ir. H Raden Mahmud Badaruddin, adalah Ketua Umum
Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yang dilantik pada
tanggal 4 September 2005 di halaman Benteng Kuto Besak. Pada tanggal 18
November 2006, para zuriat (keturunan) sepuluh sultan yang pernah
berkuasa di Palembang beserta zuriat Melayu di Sumatra Selatan melakukan
musyawarah yang akhirnya mengukuhkan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin
sebagai Sultan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud
Badaruddin. Pelantikan dia dilakukan pada tanggal 19 Desember 2006 di
halaman Dalam Benteng Kuto Besak (Badaruddin, 2008:43).
Alasan penobatan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan
Palembang Darussalam didasari atas silsilah Sultan Palembang Darussalam.
Raden Iskandar Mahmud Badaruddin merupakan keturunan dari dua sultan
yang pernah berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu Sultan
Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago dan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo
(Badaruddin, 2008:43-44).
Silsilah
Penulisan silsilah Kesultanan Palembang Darussalam berikut ini
merupakan rangkuman dari beberapa sumber, yaitu: Djohan Hanafiah. 1995.
Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja
Grafido Persada; Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”,
dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah
Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara; dan Sultan Iskandar Mahmud
Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang:
Kraton Kesultanan Pelambang Darussalam.
Silsilah para pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam sebagai berikut:
- Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 – 1706 M)
- Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 – 1714 M)
- Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M)
- Sultan Anom Alimudin (Meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah)
- Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I) (1724 – 1758 M)
- Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M).
- Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M)
- Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II)(1804 – 1821)
- Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1817)
- Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 – 1821)
- Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823)
- Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III)(2003 – sekarang)
- Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006 – sekarang)
Sistem Pemerintahan
Menurut Hanafiah (1995), selama memerintah, Sultan Abdurrahman telah
meletakkan tata kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang kuat. Dalam
bidang pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di daerah pedalaman
atau dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undang dan
peraturan-peraturan yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem
(piagam), yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah yang masuk dalam
pengaruh kekuasaan Palembang, seperti Bangka, Belitung, sebagian Jambi
(Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang
Bawang/Mesuji) (Hanafiah, 1995:197-200).
Dalam bidang pertanian, Sultan Abdurrahman mewajibkan bagi
daerah-daerah tertentu untuk mengembangkan tanaman lada. Ia juga membuat
sistem perairan yang dibuat antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang
tidak saja digunakan untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan
pertahanan (Hanafiah, 1995:197-200).
Dalam mengatur pemerintahan, para penguasa di Kesultanan Palembang
Darussalam memilih sikap kompromistis terhadap penduduk setempat. Salah
satu sikap kompromistis penguasa dilakukan dengan jalan lembaga
perkawinan (Hanafiah, 1995:169). Sebagai contoh, Sultan Abdurrahman
pernah melangsungkan perkawinan dengan puteri penguasa Bangka. Imbas
dari perkawinan tersebut, Sultan Abdurrahman mendapatkan warisan
kepulauan Bangka yang kemudian masuk ke dalam wilayah kekuasaan
Kesultanan Palembang Darussalam (Hanafiah, 1995:169).
Selain menggunakan lembaga perkawinan, penguasa di Kesultanan
Palembang Darussalam juga menunjukkan sikap untuk lebih menghormati adat
setempat yang berlaku di masing-masing komunitas adat. Kehidupan hukum
masyarakat yang ada di bawah kekuasaan sultan biasanya berjalan sesuai
dengan tradisi masing-masing. Tetapi kadang-kadang mereka terdesak
sampai musnah. Di lain, tempat konstruksi hukumnya mengalami perubahan
hak ulayat kepala-kepala (rakyat yang telah turun-temurun misalnya,
tetap berlaku seperti sediakala, tetapi selanjutnya disebut-sebut
seolah-olah didasarkan atas satu karunia daripada seorang sultan (B.J.O
Schrieke, 1974 dalam Hanafiah:169-170)
Sikap kompromis Kesultanan Palembang dapat dibuktikan ketika
Undang-Undang Simbur Cahaya dibuat untuk dijadikan pedoman terhadap
kekuasaan yang berlaku di daerah. Undang-Undang Simbur Cahaya merupakan
suatu pedoman yang mengatur adat pergaulan bujang gadis, adat
perkawinan, piagam, dan lain sebagainya. Undang-undang ini disusun oleh
Pangeran Sedo Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639 – 1650 M)
bersama sang istri, Ratu Senuhun, ketika Kesultanan Palembang Darussalam
masih berbentuk Kerajaan Palembang (Badaruddin, 2008:9). Undang-Undang
Simbur Cahaya masih dijadikan pedoman meskipun bentuk kerajaan telah
beralih ke bentuk kesultanan.
Menurut J.W. van Royen, para sultan tidak melakukan apapun selain
mengukuhkan (vastleggen) hukum adat yang berlaku di daerah-daerah (J.W.
van Royen, 1927:40 dalam Hanafiah, 1995:170). Sikap penguasa Palembang
secara jelas digambarkan oleh P. dee Roo de Faille (1971:40 dan 57),
“Orang Pasemah bukan semata-mata orang bawahan, mereka lebih
merupakan kawan-kawan seperjuangan dari Sultan yang dilindunginya,
meskipun mereka … telah menerima penjagaan batas (sindang) sebagai tugas
dan mengikat diri untuk mentaati beberapa peraturan yang menunjuk
pengakuan daripada kekuasaan” (P. dee Roo de Faille, 1971 dalam
Hanafiah, 1995:170).
Secara stuktural, sultan menempatkan diri sebagai penguasa tertinggi.
Kedudukan sultan bermakna dua, sebagai pemimpin wilayah sekaligus
sebagai pelindung agama Islam. Pemerintahan tersusun dengan adanya
pembagian menurut wilayah dan hukum, yaitu ibukota kesultanan yang
berupa istana dan mancanegara yang berupa lingkungan di luar wilayah
ibukota kesultanan (daerah-daerah). Pembagian wilayah mancanegara tidak
didasarkan atas pertimbangan teritorial, namun lebih disebabkan karena
faktor kegunaan atau manfaat wilayah tersebut. Atas dasar itulah, maka
muncul wilayah-wilayah sebagaimana berikut:
1. Sindang
Sindang adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di perbatasan
wilayah kesultanan. Penduduk di daerah sindang memperoleh status mardika
(merdeka atau bebas). Tugas utama penduduk daerah perbatasan adalah
menjaga perbatasan (Hanafiah, 1995:171).
2. Kepungutan
Kepungutan merupakan sebutan bagi daerah yang langsung berada dalam
pengawasan kekuasaaan sultan. Kepungutan merupakan daerah bebas pajak
tetapi mempunyai kewajiban lain yang disebut tiban atau tukon. Tiban
adalah kewajiban bagi penduduk di daerah kepungutan untuk memproduksi
komoditi ekspor seperti lada atau menambang timah. Komoditi ini menjadi
hak (monopoli) Kesultanan Palembang Darussalam dalam pemasarannya.
Sedangkan tukon dalam pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan tiban.
Hanya saja dalam tukon dipergunakan uang sebagai alat pembayaran
(Hanafiah, 1995:171).
3. Sikap
Sikap merupakan suatu wilayah yang dibentuk dengan alasan untuk
memenuhi kebutuhan perekonomian di Istana Kesultanan Palembang
Darussalam. Pada umumnya daerah sikap terikat dengan kewajiban seperti
menyediakan tenaga pengangkut hasil produksi istana dan menyiapkan
keperluan-keperluan istana (Hanafiah, 1995:171). Daerah sikap secara
khusus menjadi tanggungjawab golongan priyayi yang disebut dengan jenang
(pemimpin suatu wilayah di luar ibukota kesultanan). Hanya saja,
kekuasaannya sebatas masa jabatannya saja. Sebagai golongan rakyat,
pihak petani bisa diperkenankan untuk membuka tanah (sikap), namun harus
membayar pajak atas tanah dan hasil pertanian. Meskipun demikian, baik
golongan priyayi maupun rakyat petani, mereka sama-sama tidak berhak
mewariskan jabatan dan tanahnya.
Hubungan Dengan Kerajaan Lain
Hubungan Palembang dengan Demak
Raja Kerajaan Demak Raden Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan
puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521,
kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran Trenggono yang
wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid Demak).
Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara
saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata).
Pangeran Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian
Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak
Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang.
Demikian juga menantu Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat
dari Jepara juga dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya
juga seorang menantu Pangeran Trenggono atau terkenal dengan sebutan
Jaka Tingkir yang menjabat Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton
Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang dan habislah riwayat Kerajaan
Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65 tahun yaitu dari tahun 1481
sampai 1546.
Dalam kemelut yang terjadi atas penyerangan Demak oleh Pajang ini,
berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden
Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing
Lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang dan membuat kekuatan
baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian menurunkan
raja-raja, atau sultan-sultan Palembang. Keraton pertamanya di Kuto
Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri,
Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para
penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya.
Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu,
yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang.
Hubungan Palembang dengan Mataram
Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan
pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah
Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari Pangeran Benowo
(putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin
Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan
atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senapati
Mataram dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah
sejarah Kerajaan Jawa Mataram. Senapati Mataram sendiri merupakan
keturunan Raden Fatah dan Raden Trenggono yang masih meneruskan
dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya pertalian antara
Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut hingga masa
pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat). Sampai
akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai
pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad
(1580 – 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu
Palembang (diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada
perahu, yang berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan
Muhammad. Penyerbuan ini dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya
Pangiri dari Demak.
Tetapi tidak lama kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan
diri dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi mudanya. Sementara itu
kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang karena makin
bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram, sehingga
dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang
termasuk Palembang juga merenggang.
Hubungan Palembang dengan VOC
Palembang yang semula merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai
mengadakan hubungan dengan VOC, dengan demikian timbul kecurigaan dari
penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin renggangnya hubungan
Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan VOC pada tahun
1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa
Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Tiongkok, juga
sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada
VOC. VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC
hanya dengan kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat
dikurangi, sebaliknya Palembang tidak mudah digertak begitu saja.
Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan yang didampingi istrinya
Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx
(1629-1632) telah dibuka Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di
Palembang. Kontrak ditanda tangani tahun 1642, tetapi pelaksanaanya baru
pada tahun 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil
pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena
belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619
ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji
dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan
bangunan-bangunan antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid Agung
dan lain lainnya. Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian
bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau
yang dikelilingi sungai Musi, sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan
dari sungai Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun
1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena
antara lain ia menyita sebuah jung Tiongkok bermuatan lada.
Kemudian VOC menggantikannya dengan Cornelis Ockerz (dijuluki — si
Kapitein Panjang) yang tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di
Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke Palembang yang
terakhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putra mahkota
Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal
22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (a.l. Putri Ratu Emas,
Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal,
Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama
Jacatra dan de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda
lainnya serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena
kecurangan-kecurangan serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk
Ockerz. Kemudian untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda
mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan
pada tanggal 24 November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di
Kota Gawang (1 llir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya
menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka Tiga).
Dari wilayah Sumatra Selatan, wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang
Darussalam meluas ke beberapa daerah seperti Bangka, Belitung, sebagian
Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang
Bawang/Mesuji). Perluasan wilayah ini sebagian besar terjadi ketika
Kesultanan Palembang Darussalam berada di bawah pemerintahan Sultan
Abdurrahman (Hanafiah, 1995:197-200).
Ekonomi
Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan
hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar.
Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka
Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak
abad ke-18.[1]
Peperangan
Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang berada di Palembang, namun ia menolak bekerja sama dengan Inggris, sehingga Thomas Stamford Bingley Raffles
mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II
terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles
mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II
sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali
mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya diturunkan kembali
oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad Najamuddin II, sehingga
menyebabkan perpecahan keluarga dalam kesultanan Palembang.[2]
Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka
sebelumnya dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad
Najamuddin II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan
Palembang kembali bangkit melakukan perlawanan yang kemudian kembali
dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu pada tahun 1819, Sultan mendapat serangan dari pasukan Hindia yang antara lain dikenal sebagai Perang Menteng
(diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan
lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan
berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan
ke Ternate.[2]
Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan
Ahmad Najamuddin II sebagai raja berikutnya, namun pada tahun 1823
Belanda menjadikan kesultanan Palembang berada dibawah pengawasannya,
sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan istana. Puncaknya
pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun dapat dengan mudah
dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III
menyerah kemudian diasingkan ke Banda Neira.[2]
Daftar Pustaka
- B.J.O. Schrieke. 1974. Penguasa-Penguasa Pribumi, Jakarta: Bharata dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
- Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
- J.W. van Royen. 1927. De Palembangsche Marga en Haar Grond-en Waterrechten. Leiden : GL van den Berg dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
- Kemas Ari, 2006, “Sultan Di Mata Taufik Wijaya”, diunduh dari kesultanan-palembang-darussalam.com. pada 15 Desember 2009.
- Kms H Andi Syarifuddin. 2008. “Mengenal Adat Istiadat Palembang”, diunduh dari http://dodinp.multiply.com, pada 14 Desember 2009.
- L. Mardiwarsito. 1986. Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Endeh: Nusa Indah dalam Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara.
- Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Cetakan ke-4. Jakarta: Balai Pustaka.
- P. dee Roo Faille. 1971. Dari Zaman Kesultanan Palembang. Jakarta: Bharata dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
- Raden Patah, diunduh dari http://id.wikipedia.org, pada 15 Desember 2009.
- Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara.
- “Sejarah Kota Palembang”. 2008, diunduh dari unitkerja.palembang.go.id., pada 14 Desember 2009
- Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang: Kraton Kesultanan Pelambang Darussalam.
- Taufik Wijaya. 2008. “Polemik Sultan Palembang”, diunduh dari dodinp.multiply.com, pada 12 Desember 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar